Mengintip Praktik Judi di Masa Jawa Kuno

225

Peradaban umat manusia tak bisa dipisahkan dari praktik perjudian. Ini bisa dilacak dari penemuan prasasti ratusan hingga ribuan tahun silam di berbagai belahan dunia. Para pelakunya datang dari berbagai latar belakang mulai dari rakyat biasa, bangsawan hingga anggota kerajaan.

Pun demikian yang terjadi di nusantara, khususnya di masa Jawa kuno. Rekam jejak perjudian ditemukan melalui prasasti serta data pendukung lainnya seperti naskah dan juga relief. Data pendukung tersebut memberikan gambaran jelas mengenai perjudian pada era itu.

BACA JUGA

Praktik perjudian di masa Jawa kuno juga muncul dalam Serat Pararaton. Mengisahkan seorang pejudi taruh (bobotoh) dari Karuman bernama “Bango Samparan”. Beliau merupakan ayah angkat Ken Arok kecil sebelum menjadi raja di Tumapel yang kemudian terkenal dengan Singhasari.

Melansir situs Historia.id, nasib Bango Samparan yang kalah judi dan tak bisa membayar hutang lalu memutuskan untuk bertapa di Rabut Jalu. Di sana, dirinya mendapat wingsit suara yang mengatakan akan menemukan seorang anak bernama Ken Arok.

Dalam perjalanan pulang ke Karuman, Ia pun bertemu dengan anak yang dimaksud dan menjadikan sebagai anak angkat. Lantaran dijadikan anak angkat, Bango Samparan kerap membawa Ken Arok ke arena perjudian dan selalu memenangkan pertaruhan. Ken Arok pun dianggap sebagai “anak pembawa keberuntungan”.

Meski kisah Bango Samparan dalam Pararaton telah ada pada masa Jawa kuno namun tak dijelaskan detail bagaimana Ia dan teman-temannya bermain judi. Namun, dari berbagai sumber lainnya bisa diketahui cara berjudi orang Jawa Kuno bermacam-macam.

Ini bisa ditemui pada kisah Mahabrata yang mengisahkan perjudian di era Majapahit yang terkenal antara Duryodana dari Kurawa dan Yudhistira mewakili Pandawa. Adegan ini tergambar pada relief Parthayajna di teras II Candi Jajaghu (Jago), Malang.

Pada relief, empat tokoh dalam pewayangan itu digambarkan sedang berjudi di balai-balai berbentuk persegi panjang, berlantai tinggi dengan dengan tiang penyangga atap berjumlah enam buah. 

Di sisi kiri terlihat Duryodana didampingi Sengkuni. Di belakang mereka berdiri tiga anggota keluarga Kurawa. Salah seorang di antaranya adalah adiknya, yaitu Dursasana. Berhadapan dengan Yudhistira yang di damping Arjuna. Sementara, tiga anggota pandawa lainnya berdiri di luar balai yakni Bima, Sakula dan Sahadewa.

Meski tak jelas alat judi yang mereka mainkan, namun terlihat ada bidang datar persegi panjang dengan beberapa benda kecil di permukaannya. Ahli arkeolog menafsirkan itu merupakan sebuah perjudian menggunakan dadu. 

Namun perangkat judi justru lebih terlihat pada permainan dadu oleh sepasang punakawan Kurawa melawan sepasang punakawan Pandawa. Dimana, mereka bermain dadu di permukaan tanah di samping lantai balai.

Tergambar ada benda berbentuk setengah bulatan, yang mengingatkan kepada tempurung yakni tempat anak-anak dadu dikopyok (dikocok) sebelum pertaruhan dimulai. Di tanah Jawa permainan ini dinamai dengan “Klothok” atau istilah lainnya adalah “onomatope”.

Adu Taruhan Hewan

Sementara itu, bentuk perjudian yang paling banyak terjadi pada masa Jawa Kuno abad ke-8 hingga abad ke-13 adalah sabung ayam. Lebih dari sepuluh prasasti era Jawa kuno menyebut judi sabung ayam. Diantaranya Prasasti Wangwang Bangen (824 M), Prasasti Waharu Kuti (840 M), Prasasti Sangsang (907 M).

Sedangkan bentuk perjudian lain sesekali muncul dalam prasati adalah adu burung merpati yang ditemui dalam Prasasti Waharu Kuti (840 M), adu babi dalam Prasasti Taji (901 M) dan Padlegan I (1116 M) dan adu kambing dalam Prasasti Hantang (1135 M).